Hukum Paradoks dan Penciptaan Manusia

SENIN, 24 JULI, 2023

Hukum Paradoks dan Penciptaan Manusia

Ditinjau dari banyak aspek, manusia memang bisa disebut sebagai ciptaan Allah yang paling mulia. Dari segi logika dan filsafat, hal itu dikarenakan manusia adalah makhluk yang berakal dan memiliki potensi untuk mengembangkan akalnya hingga titik optimalnya. Jika merujuk pada aspek tasawuf, manusia mulia karena ia membawa ruh Tuhan dalam dirinya. Manusia sendiri termasuk salah satu ciptaan yang diabadikan oleh Allah.

Namun demikian, di balik penciptaan manusia terdapat satu rahasia agung yang perlu kita pahami agar kita mampu hidup sesuai fitrah penciptaan diri kita terdahulu. Bukankah untuk bisa keluar dengan selamat dari hutan rimba, kita mesti memahami rute dan jalanan di dalamnya?

Penciptaan manusia merupakan penciptaan paling hebat, sakral, dan tinggi sepanjang sejarah. Ada hukum paradoks yang berlaku di dalamnya, karena manusia terlahir dari pernikahan seorang laki-laki dan perempuan, yang mana secara biologis mekanismenya terjadi karena bertemunya sel sperma dan ovum dari sepasang suami istri yang telah menikah.

Paradoks adalah dua keadaan dalam satu kesatuan, di mana masing-masing dari hal itu sifatnya cenderung bertabrakan satu sama lain. Sebagaimana kita ketahui bahwa laki-laki dan perempuan adalah dua jenis kelamin yang berbeda. Penyatuan keduanya dalam sebuah bahtera rumah tangga tentu bisa disebut sebagai terapan dari hukum paradoks.

Pada dasarnya, tauhid sendiri juga bersifat paradoks. Sebagaimana sifat Allah yang seringkali bertentangan satu sama lain. Dialah yang lahir dan batin, awal sekaligus akhir, maha pengasih tapi juga maha menundukkan, serta sifat-sifat sejenis yang dimiliki oleh Allah dalam naungan asmaul husna (nama-nama yang baik).

Hukum paradoks ketuhanan sejatinya sangat luas dan kompleks. Bagaimana misalnya kita memahami bahwa Allah tidak ada di dalam dan di luar alam? Lalu Allah sendiri menyatakan bahwa Dia tersebar kemana-mana, namun juga tidak di mana-mana.

Oleh karena itu, nasihat yang perlu kita ingat ketika sedang memasuki ruang ketuhanan adalah pentingnya untuk "membunuh" logika kita, atau setidaknya melemahkannya terlebih dahulu untuk memahami hakikat ketuhanan yang sifatnya lebih mendalam dan sering kali melampaui batas nalar manusia.

"Tangga menuju langit adalah kepalamu, maka letakkanlah kepalamu di bawah telapak kakimu.

- Jalaluddin Rumi

Rumi Quotes

Pemahaman akan hukum paradoks penciptaan ini akan mengantarkan kita pada level kesadaran baru, bahwa segala hal yang sifatnya bertentangan itu bukan selamanya tidak baik. Terkadang, hal itu justru diperlukan untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan dalam hidup kita.

Kesadaran tersebut juga mendorong setiap orang agar tidak menggunakan kata "selalu" dalam harapan dan doanya. Karena sejatinya kita tidak mungkin selamanya akan sehat misalnya. Ada rotasi dan perputaran yang harus terjadi dalam hidup manusia, dan di situlah justru letak keindahan hidup ini yang harus kita syukuri.

Satu contoh sederhana yang bisa saya berikan di sini ialah bagaimana semestinya kita memaknai karunia. Selama ini, sering kali kita memahami karunia hanya pada apa yang disebut kenikmatan belaka. Artinya, karunia dalam versi mayoritas manusia adalah hal-hal yang dalam artian mereka itu baik buat mereka, bukan baik dalam artian Allah Sang Pencipta.

Padahal, karunia itu bukan hanya berbentuk nikmat semata, namun bisa pula terkandung dalam apa yang kita sebut sebagai ujian, musibah, atau penderitaan. Saat kita sakit misalnya, hal itu sejatinya mengandung hikmah dan karunia dari Allah Swt. Boleh jadi itu salah satu cara yang Dia gunakan untuk menyucikan diri kita dari lapisan dosa yang tebal.

Pun demikian ketika kita sedang di posisi yang menurut kita rendah. Katakanlah karir yang macet, hubungan keluarga yang berantakan, atau masalah lain yang membuat pusing kepala kita. Mungkin itulah cara Allah untuk memanggil dan mengingatkan kita agar tidak terlalu lama berada dalam kelalaian akan urusan hubungan vertikal dengan-Nya, maupun horizontal dengan sesama manusia dan alam semesta.

Sebagai elaborasi lebih lanjut, hidup yang kita jalani hari ini hingga ajal menjemput kita nanti itu pun sebenarnya adalah paradoks. Ilustrasi sederhana untuk memahami hal ini adalah dengan menyadari bahwa kita diberi peran-peran (sebagai anak, suami, istri, karyawan, dan lain sebagainya) dalam kehidupan yang kita jalani. Dalam bahasa lain, kita sedang diperankan oleh Allah untuk mengemban hal itu.

Akan tetapi, di sisi lain kita juga akan menerima ujian dari peran yang kita emban. Baik ujian sebagai anak, suami, istri, karyawan, atau dalam peran apa saja yang kita pegang hari ini. Problemnya, manusia sering kali hanya ingin menerima perannya saja dan tidak bersedia untuk menanggung ujian dari peran tersebut. Dari sinilah kemudian timbul konflik-konflik yang urusannya kemudian menjadi panjang.

Jika kita memahami hukum paradoks secara benar, tentu itu adalah dua hal yang menjadi satu kesatuan untuk kita terima secara utuh dan penuh. Tak seharusnya ada penolakan dan resistensi dari mekanisme alamiah itu. Penting kiranya kemudian pemahaman akan hal ini agar kita bisa menjalani hidup yang tenang, damai, dan bahagia.

Detachment

Tips yang juga bisa kita gunakan adalah memilih untuk tidak melekat dengan apa yang menjadi peran dalam hidup kita. Sehingga kita akan bisa menerima dengan perlakuan dan perasaan yang sama ketika datangnya nikmat dan ujian, sehat dan sakit, dan hal-hal sejenisnya.

Dalam perspektif tauhid sendiri, positioning terbaik seorang manusia seharusnya adalah menjadi pengamat atas peran-peran yang kita emban dalam hidup ini. Untuk itu, jadilah pengamat terbaik atas hidup dan peran yang Anda jalani.

Kita harus bisa membedakan mana yang merupakan alat (tools) dan substansi (essence). Contoh mudah dalam bab ini adalah perihal tubuh kita. Sudahkah kita menyadari bahwa tubuh hanyalah alat? Diri sejati kita itu adalah lathifah yang berjumlah 7 dalam diri kita.

Untuk menjadi pribadi yang dipelihara oleh Allah, kita mesti membuka tujuh titik lathifah tersebut dari segel yang rapat. Setelah itu terbuka, barulah alam semesta akan memberikan pelayanan terbaiknya kepada kita selaku kepanjangan tangan-Nya.

Alam semesta akan merasa malu apabila kita sudah mengoptimalkan tujuh titik lathifah tersebut, sehingga pilihannya ia akan memberikan pelayanan serta menjadi wasilah bagi kita untuk terkoneksi dengan Baginda Rasulullah saw.

Secara runtut, ada setidaknya empat tahapan yang harus kita lalui, yakni Diri, Semesta, Rasulullah, dan Allah. Pada tahap awal, yang paling penting kita lakukan adalah memperbaiki diri sendiri serta mengaktifkan 7 titik lathifah. Kemudian, kita "mempermalukan" semesta dengan cara melunasi hutang-hutang kehidupan kita sedini mungkin sambil berbuat baik dan bermanfaat kepada orang-orang dan alam sekitar.

Dari situlah kita mulai menanjak naik untuk tersambung dengan Rasulullah (Nur wa Ruh Muhammad). Jika kita telah memiliki hubungan yang baik dengan beliau, maka barulah kita akan memiliki akses untuk berinteraksi dan berasyik-masyuk dengan Allah. Semoga kita dimampukan oleh Allah untuk menempuh jalan yang sunyi sekaligus terjal ini. Wallahu a'lamu bi muradihi.

Penulis: Indra Hanjaya - Founder Panca Olah Institute dan Spiritual Life Coach


Leave a Reply