Dalam menjalani kehidupan, kita perlu menyadari bahwa ilmu Allah itu luas. Sebagai contoh, di samping Al-Qur’an dan hadis yang menjadi rujukan umat Islam, terdapat pula banyak ilmu lain yang membuat manusia bisa menjadi lebih baik dan mendorong pertumbuhan mereka menjadi lebih baik. Mulai dari ilmu sains, sosial, humaniora, dan banyak lainnya
Salah satu cara untuk mengaplikasikan hal itu ialah dengan menyeimbangkan antara keimanan dan logika dalam beragama, bukan hanya mengandalkan salah satunya saja. Bertumpu pada salah satu dari kedua hal itu akan beresiko dan membuat seseorang bisa terjerumus ke dalam hal yang berbahaya, seperti konflik antar umat beragama misalnya.
Tak hanya itu, manusia juga harus menyadari bahwa pada hakikatnya mereka adalah makhluk spiritual. Bahkan jika diukur dengan hitungan, kadar kita sebagai makhluk spiritual mempunyai porsi sebesar 90 persen dari keseluruhan total sebanyak 100 persen. Misi makhluk spiritual yang melekat dalam diri kita bukan sebatas mengikuti kajian agama, menegakkan ibadah ritual, dan sejenisnya.
Akan tetapi, tujuan (goal) dari agama, khususnya dalam hal ini Islam, ialah ketika seseorang telah mampu menjadi rahmat bagi sekitarnya serta memiliki akhlak yang baik. Hal ini selaras dengan alasan Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah kepada umat manusia. Yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam dan menyempurnakan akhlak manusia.
Dengan bahasa lain, kita bisa disebut gagal dalam beragama jikalau tidak terkandung dua komponen penting di atas dalam kehidupan keseharian kita. Akhlak salah satunya menjadi bekal untuk mampu bersikap secara adil kepada setiap orang, meskipun ia berbeda agama dan keyakinan.
Bukankah dahulu Rasulullah juga berdagang dan berkomunikasi dengan orang non-Islam? Artinya, dalam hal muamalah (bukan urusan tauhid), menjalin relasi dengan siapa pun dengan beragam latar belakangnya merupakan hal yang diperbolehkan. Tak pantas rasanya kita menghakimi dan menjadi tuhan-tuhan kecil kepada orang yang tidak sependapat atau sepemikiran kita dalam urusan keyakinan.
Dunia ini pada dasarnya memang diciptakan untuk tidak sama, dan oleh karena itulah keberagamaan merupakan sebuah keniscayaan. Begitu pula dengan kehidupan yang bersifat paradoks. Wajar jika rezeki tidak selalu lancar, fisik tidak melulu sehat, dan lain sebagainya. Kemuliaan hidup justru terletak pada dualitas tersebut (antara hitam dan putih).
Mersepons hal itu, sikap yang perlu kita camkan dalam diri pribadi ialah menyikapi apa pun dengan biasa saja. Anugerah, nikmat, karunia, ujian, atau musibah hendaknya disikapi secara wajar dan tidak berlebihan, karena sikap berlebihan terkadang justru memperburuk keadaan.
Sebuah penderitaan misalnya, tak perlu kita maknai terlalu berlebihan dengan tidak menerima serta mencoba menyalahkan pihak lain di luar dirinya. Bisa jadi penderitaan itu merupakan “alarm kehidupan” atau bahkan alat bayar, karena dalam hidup ada hal-hal yang tidak akan sanggup untuk kita bayar, sehingga hal itu harus ditebus dengan penderitaan yang kita alami. Pola pikir yang perlu kita miliki ialah bahwa tidak akan ada yang sia-sia atas apa yang terjadi dan kita alami dalam hidup.
Kisah Ibrahim bin Adham, seorang sufi dari Afghanistan, yang justru lari ketika dia hendak ditolong oleh jamaah dan kawannya pada saat ia dibakar merupakan teladan bagaimana seharusnya kita menghadapi dan memaknai penderitaan.
Di titik itu, Ibrahim bin Adham menganggap hukuman berupa dibakar adalah bagian dari tirakat yang harus ia jalani. Itulah contoh bagaimana membuat penderitaan menjadi rahmat melalui kesadaran yang tepat dan bagus. Sikap rida yang ditunjukkan Ibrahim menjadi pintu pembuka rahmat dari sebuah penderitaan yang menimpanya.
Perlu diingat kembali, aturan mendasar dalam undang-undang alam semesta salah satunya ialah bahwa segala sesuatu itu ada alat bayar atau alat tukarnya. Dalam hidup ini pilihannya ada dua: tirakat secara sadar dan tulus atau dipaksa tirakat oleh alam semesta.. Sedekah secara sadar atau dipaksa bersedekah dengan skenario dari Tuhan.
Menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidup kita, ada 3 rumus penting yang perlu kita ketahui dan kemudian patut untuk diterapkan. Rumus itu ialah Sadari, Hargai, dan Syukuri. Pekerjaan yang saat ini kita geluti, rumah tangga antara suami dan istri, pendidikan yang sedang kita tempuh, atau apa pun saja itu perlu disadari, dihargai, dan disyukuri.
Contoh lain, air merupakan salah satu kebutuhan mendasar yang sangat vital bagi setiap orang. Air diperlukan untuk minum, mandi, bersuci, hingga melakukan beragam aktivitas harian lainnya. Atas rahmat dan karunia-Nya terhadap air yang masih bisa kita dapatkan dengan cukup mudah, hal itu juga harus disadari, disyukuri, serta dihargai.
Satu pelajaran penting lain perlu kita sadari ialah bahwa terkoneksi dengan alam semesta itu hal yang sangat penting. Ada sebuah cerita tentang seorang pengusaha yang sukses karena vibrasi ibunya yang tinggi dan bercahaya, yang mana hal itu hasil dari pribadi beliau yang baik hatinya dan ia selalu bersinergi dengan alam semesta. Jika kita memiliki koneksi akan hal itu, maka keterhubungan itu juga patut untuk disadari, dihargai, dan disyukuri.
Pun demikian dengan keterhubungan kita terhadap Rasulullah saw sebagai sarana untuk mencapai ma’rifatullah. Atau kekhusyukan saat berdzikir karena adanya kesadaran dalam dzikir yang didawamkan tersebut.
Kalau tiga prinsip berupa Sadari, Hargai, dan, Syukuri itu mampu kita terapkan dalam hal apa pun, maka boleh dicatat bahwa hidup kita akan dijamin bahagia dan aliran berkah tidak akan tersumbat. Tentu hal ini harus disertai pula dengan komitmen kita untuk memprioritaskan guru (khususnya guru mursyid) dan orang tua yang telah mengantarkan kita pada titik di mana kita berada sejauh ini.