Sains konvensional selama bertahun-tahun meyakini bahwa kesuksesan hidup manusia secara dominan ditentukan oleh kode genetik (DNA) yang dibawa seseorang saat ia lahir ke alam dunia. Namun, apakah keyakinan yang telah menjadi doktrin umum dan diajarkan di berbagai institusi pendidikan (mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga lanjutan) memang benar demikian adanya?
Teori survival of the fittest yang dipopulerkan oleh Charles Darwin berpegangan pada pilar gen sebagai faktor berpengaruh besar pada daya tahan seseorang menghadapi seleksi alam. Beberapa tahun sebelum Darwin menuangkan gagasannya dalam On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life, terdapat pendapat lain yang disuarakan oleh Jean-Baptiste Lamarck.
Menurut Lamarck, sukses atau tidaknya manusia dalam bertahan hidup bukan ditentukan oleh DNA, melainkan bergantung kepada respons dan penyikapan seseorang terhadap lingkungan serta perubahan yang mengiringinya. Pendapat ini bahkan sebenarnya diamini oleh Darwin di akhir hayatnya.
Pada salah satu tulisannya, Darwin merevisi teorinya dan menyetujui aspek lingkungan sebagai faktor yang juga perlu dipertimbangkan dalam diskursus mengenai ketahanan hidup manusia. Sayangnya, pendapat ini tidak pernah atau bisa dibilang jarang diketahui oleh masyarakat luas akibat doktrin yang telah mendarah daging, ditambah fanatisme kelompok Darwinian yang dengan teguh mempertahankan pendapat lama Darwin.
Dalam sains lama, khususnya mazhab Darwinian, mekanisme yang melatarbelakangi dan membentuk perilaku seseorang ditumpukan pada susunan kode genetik, sebagai hasil lanjutan dari ekstraksi protein yang dihasilkan oleh sel. Akan tetapi, seiring perkembangan ilmu pengetahuan, hipotesis soal faktor lingkungan yang berpengaruh besar dalam kehidupan seseorang mulai diamini oleh ilmuwan di berbagai dunia.
Fondasi mengenai teori di atas semakin diperkuat oleh hasil penelitian bertahun-tahun yang kemudian dituliskan menjadi buku oleh Bruce Lipton. Dengan judul The Biology of Belief: Unleashing the Power of Consciousness, Miracles, and Matter, buku tersebut menyibak misteri sekaligus meruntuhkan banyak mitos yang telanjur tersebar di kalangan masyarakat mengenai pikiran, keyakinan, sel, hingga DNA. Integrasi antara sains dan spiritualitas yang selama ini dipandang tidak mungkin menjadi menemukan titik terang di tangan Lipton.
Epigenetika: Sains Baru Pemberdayaan Diri
Melalui kajian epigenetika, salah satu cabang biologi yang hari ini semakin diminati oleh kalangan saintis, ditemukan fakta bahwa informasi yang mengontrol biologi diawali dengan sinyal-sinyal lingkungan, yang pada tahap selanjutnya juga mengendalikan aktivitas protein regulator pada DNA. Tak hanya itu, arus informasi yang berlangsung dalam mekanisme biologi baru ini sudah tidak hanya terjadi secara satu arah, melainkan saling mempengaruhi dan timbal-balik (dua arah).
Temuan ilmiah kontemporer ini bertolak belakang dengan dogma konvensional yang menyandarkan sumber utama dalam kontrol biologis serta faktor terbesar dalam menentukan kesuksesan ialah DNA seseorang. Selain itu, dalam teori lama ini hubungan yang terjadi bersifat satu arah, sehingga hal ini berpengaruh pada kejumudan dan kedangkalan berpikir maupun bersikap di dalam diri manusia.
Cerita soal kontrol epigenetik ialah kisah tentang bagaimana sinyal lingkungan mengontrol aktivitas gen. Oleh karena itu, sekarang sudah tergambar dengan jelas bahwa bagan keunggulan DNA yang digunakan selama bertahun-tahun itu sudah kuno. Skema arus informasi yang terbaru lebih cocok disebut dengan keunggulan lingkungan. Hal ini dikarenakan arus informasi baru yang lebih canggih dalam biologi dimulai dengan sinyal lingkungan, lalu protein regulator. Setelah itu, informasi tersebut barulah masuk ke DNA, RNA, dan terakhir protein.
Sains epigenetika juga menjelaskan bahwa ada dua mekanisme yang digunakan oleh organisme dalam meneruskan informasi keturunan. Kontribusi pertama melalui gen (nature), sedangkan yang kedua ialah mekanisme epigenetik (nurture) dalam perilaku manusia. Jika kita hanya memusatkan perhatian pada cetak biru DNA, seperti apa yang dilakukan oleh para saintis selama berpuluh-puluh tahun, maka pengaruh lingkungan akan mustahil dipahami dengan baik.
Tak cukup sampai di situ, dari organel sel yang menyusun tubuh manusia Bruce Lipton menarik kesimpulan bahwa seseorang bukanlah korban dari gen yang mengiringinya saat lahir ke dunia, melainkan penguasa atas nasibnya sendiri. Manusia mampu menciptakan kehidupan yang damai, bahagia, dan penuh cinta tanpa bergantung atau beralasan bahwa dari informasi genetik (DNA) yang ada dalam dirinya, ia tidak bisa mewujudkan hal itu.