Pertengahan bulan Mei lalu, tepatnya pada hari Senin, 15 Mei 2023, program Suluh Nusantara Jilid II oleh Panca Olah Institute yang mengambil tema besar Raja-Wali secara resmi dimulai. Tokoh yang pertama diangkat untuk mengawali keseluruhan program Suluh Nusantara ialah pembahasan mengenai riwayat hidup dan ajaran dari Syaikh Nur Jati Maulana Idhofi Mahdi, sosok yang menjadi guru dari para wali dan keluarga kerajaan pada zamannya.
Sebelum memasuki sesi inti, peserta yang hadir diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme dalam diri setiap insan yang hadir dan mengikuti rangkaian program secara sadar penuh dan hadir utuh.
Dalam sambutannya, Coach Indra Hanjaya dalam keynote speaker yang disampaikan mengungkapkan bahwa Suluh Nusantara Jilid II tahun 2023 bertujuan untuk membumikan ilmu kesadaran di Nusantara, khususnya dari para tokoh Wali Songo yang berperan penting dalam penyebaran ajaran kesadaran dan budaya peradaban untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni.
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, atau yang lebih akrab disapa Buya Said, hadir sebagai narasumber kunci dan utama untuk mendiskusikan Syaikh Nur Jati dan warisan pemikiran dan inspirasi hidup yang dia berikan.
Mengawali paparannya, Buya Said mengulas profil dan latar belakang dari Syaikh Nur Jati. Lahir di Semenanjung Malaka, Syaikh Nur Jati merupakan keturunan dari Sayyid Ahmad bin Sayyid Isa. Nasab beliau sendiri terhubung secara mutawatir kepada Nabi Muhammad saw melalui jalur Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Menginjak usia dewasa, Syaikh Nur Jati kemudian bermukim di Makkah dengan tujuan untuk mencari ilmu atas dorongan dari ayahnya. Di sana, ia belajar kepada banyak guru dan syaikh yang mengampu beragam bidang keilmuan Islam.
Pasca dari Makkah, Syaikh Nur Jati kemudian melanjutkan pengembaraannya ke Baghdad, tempat yang pada masanya menjadi pusat ilmu, filsafat, hingga perkembangan berbagai aliran atau mazhab keislaman.
Di Baghdad itu pulalah beliau bertemu jodohnya, yakni Syarifah Halimah. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai beberapa anak, di antaranya Abdur Rahman (Pangeran Panjunan), Abdur Rahim (Pangeran Panjunan), dan Syarifah Baghdad atau lebih terkenal dengan julukan Syarifah Mukenah, karena konon beliaulah orang yang pertama kali mengenalkan mukenah kepada masyarakat di wilayah Cirebon.
Selepas dari Baghdad, Syaikh Nur Jati lalu memutuskan untuk pergi mengembara dengan rombongan dalam jumlah cukup banyak ke Pelabuhan Muara Jati. Beliau tinggal di daerah Amparan Jati, atau sekarang terkenal dengan Gunung Jati setelah sebelumnya sempat tersesat dan menghabiskan beberapa waktu di Desa Mertasinga terlebih dahulu.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2021 itu kemudian mengurai beberapa pelajaran dan inspirasi penting yang diberikan oleh Syaikh Nur Jati kepada para muridnya, dan masih sangat relevan untuk diterapkan pada masa sekarang.
Buya Said mengetengahkan pentingnya mendakwahkan Islam dengan pengajaran yang baik dan penuh dengan kearifan (dakwah bil khidmah). Yakni muatan dakwah yang jauh dari perkataan kasar, caci-maki, dan hal-hal sejenisnya. Dalam bahasa sekarang, ia juga bisa disebut dengan dakwah yang mengedepankan akhlak yang baik (akhlaq al-karimah).
Di samping itu, Buya Said juga menegaskan pentingnya menjaga dan merawat warisan kebudayaan khas sebuah bangsa. Sebagai contoh, Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah itu menjelaskan bagaimana salah satu faktor hilangnya Kerajaan Pajajaran dan Majapahit di antaranya karena hilangnya kebudayaan dan peradaban khas kerajaan itu. Oleh karena itu, hal yang perlu kita jaga hari ini adalah warisan kebudayaan dan peradaban khas Nusantara, terutama dalam konteks lokal kedaerahan masing-masing.
Beberapa murid Syaikh Nur Jati antara lain Syaikh Somadullah (Pangeran Cakrabuana), Syaikh Syarif Hidayatullah, Raden Kian Santang, Syarifah Mudaim (Nyimas Rara Santang), serta Syaikh Siti Jenar. Apa yang diajarkan oleh Syaikh Nur Jati ialah pendalaman lebih lanjut dari pelajaran keislaman dan keimanan yang telah dibawa oleh Syaikh Quro Karawang.
Dalam pengajaran mengenai syahadat misalnya, Syaikh Nur Jati mengajak para muridnya untuk tidak hanya memahami syahadat secara lisan belaka, melainkan memperkuatnya dengan musyahadah qalbiyah (penyaksian hati).
"Prasyarat untuk mencapai musyahadah qalbiyah itu harus melalui tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa), khususnya nafs ghadabiyah dan nafs syahwatiyah," ujar Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya tersebut.
Nafs ghadabiyah merupakan nafsu yang mendorong manusia pada ambisi akan sesuatu hal, seperti haus akan kekuasaan, kemarahan, atau berlaku secara kasar. Sedangkan, nafs syahwatiyah adalah nafsu yang mendorong pada kesenangan dan kenyamanan. Contoh konkret dari dorongan nafsu ini adalah hasrat akan kekayaan harta, serta hal-hal yang membuat seseorang merasa nyaman.
Ajaran lain dari Syaikh Nur Jati yang juga begitu kontekstual untuk diterapkan pada masa sekarang ialah kepemimpinan berbasis intuisi. Dengan pendekatan kepemimpinan yang mengombinasikan antara kearifan hati, kebersihan jiwa, dan kemapanan intelektual inilah Syaikh Nur Jati bisa mengislamkan banyak masyarakat di wilayah Jawa Barat.
Tak hanya itu, Buya Said yang juga merupakan Wakil Presiden Organisasi Agama Sedunia itu mengutarakan kesitimewaan Syaikh Nur Jati yang menguasai ilmu hikmah dan ilmu rahasia sebagai bekal untuk menuju hati yang ma'rifat (ma'rifatul qolb) dan memiliki kekuatan tersendiri.
Dalam bahasa modern, ia disebut sebagai the secret power dan the soft power yang berasal dari pemberdayaan titik-titik penting bagian tubuh manusia (latifah), sehingga kemudian muncul quwwatul asrar dan quwwwatul lathaif dalam diri manusia.