Pada pertengahan November lalu, tepatnya 17 November 2023, program Suluh Nusantara dengan tema utama Raja-Wali 2023 kembali hadir dengan fokus pembahasan mengenai Sunan Kudus, tokoh walisongo yang dikenal dengan pemahaman mengenai hukum Islam yang mumpuni, serta ajaran toleransi yang mengakar dari aspek arsitektur hingga makanan.
Tema utama yang diangkat pada edisi kali ini ialah "Wacana Sufisme Sunan Kudus dalam Literatur Jawa Pra-Modern." Pembicara utama yang menemani diskusi agenda Suluh Nusantara tersebut adalah Nur Ahmad, M.A., Dosen UIN Walisongo Semarang yang juga merupakan Peneliti Manuskrip Nusantara.
Sebelum memasuki sesi inti pembahasan, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.
Ahmad Bagus Kazhimi, Inisiator Program Suluh Nusantara, dalam sambutannya menyatakan bahwa tujuan dari diselenggarakannya program Suluh Nusantara Raja-Wali 2023 adalah untuk menyalakan api kesadaran serta peradaban Nusantara yang kian hari semakin memudar. Amnesia historis ini perlu ditanggulangi kembali dengan menggali khazanah pemikiran dan teladan para tokoh terdahulu, tak terkecuali wali songo.
Selain itu, ia juga mengemukakan perlunya mengetengahkan temuan-temuan baru yang keterbukaan akan ajaran-ajaran luhur dari para tokoh-tokoh Nusantara agar bisa muncul ke permukaan dan menjadi inspirasi untuk terwujudnya peradaban yang lebih baik, salah satunya dengan jalan revolusi spiritual dalam diri setiap manusia Indonesia.
Mengawali paparannya, Nur Ahmad menekankan pentingnya membaca ulang literatur Jawa pra-modern, karena di rentang zaman itulah akan ditemukan bagaimana kehidupan wali songo, termasuk Sunan Kudus dan derivasi pemikirannya. Upaya ini juga menjadi jalan dalam mereposisi pandangan kita terhadap seorang tokoh pada zaman tersebut.
Sunan Kudus, misalnya, diceritakan dalam banyak buku dan beragam literasi lainnya sebagi soosk yang fikih sentris dan terkesan anti dengan tasawuf. Ia jua disebut menjadi penentang keras ajaran Syaikh Siti Jenar yang orientasi ajarannya lekat dengan teori maupun aplikasi tasawuf secara mendalam.
Temuan yang berbeda disampaikan oleh Nur Ahmad. Dari pembacaannya di banyak serat, suluk, babad, hingga primbon Jawa. Primbon sendiri adalah sebuah teks yang cenderung mengarah kepada pembahasan mengenai tasawuf, mulai dari bentuk dan cara pengamalan sebuah zikir, makna secara tasawuf dari sebuah teori atau pemahaman tertentu, interpretasi akan mimpi, hingga rajah.
"Penelusuran akan teks-teks literatur seperti primbon ini penting untuk mengetahui apa sebenarnya ajaran yang dibawa oleh tokoh terdahulu, tak terkecuali Sunan Kudus. Hal ini kelak akan membawa pada sejarah intelektual serta dunia naratif akan tokoh yang sedang ditelusuri secara tepat," ungkap Nur Ahmad.
Transmisi primbon pun berlangsung dari sang penulis awal kepada para muridnya. Selanjutnya, para murid yang pada kemudian hari menjadi mursyid itulah yang akan terus menyebarkan ajaran dalam kitab primbon tersebut kepada murid-muridnya. Ajaran seperti tujuh lapisan hati dalam kepustakaan Jawa misalnya linier dengan konsep martabat tujuh yang menjadi doktrin penting banyak tarekat di Indonesia.
Narasi mengenai Sunan Kudus yang terkesan tidak suka ajaran tasawuf dalam hal ini akan mudah terpatahkan dari penelusuran teks-teks literatur Jawa pra-modern. Dalam manuskrip tarekat Akmaliyyah, misalnya, disebutkan bahwa suatu hari Pangeran Demang meminta nasihat dari Sunan Kudus tentang hakikat Tuhan dan makhluk. Mengenai hal itu, Sunan Kudus kemudian menjawab bahwa semua yang ada di dunia ini fana dan akan lenyap, kecuali Tuhan semata.
"Gambaran Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang berjarak dalam historiografi sejarah selama ini pun tidak sepenuhnya benar. Bahkan, temuan kami menunjukkan bahwa Sunan Kalijaga adalah guru dari Sunan Kudus. Hal ini bisa ditemukan misalnya dalam kitab Andar al-Wujud yang termuat pada manuskrip tarekat Syattariyah," jelas Kandidat PhD di Universitas Leiden, Belanda tersebut.
Pada manuskrip lain, yakni dalam tarekat Qadiriyah, disebutkan bahwa Sunan Kudus disebut sebagai amirul mukminin. Ajaran yang dibawa olehnya pun, menurut Nur Ahmad, justru sangat kental dengan nuansa Akbarian (Syaikh al-Akbar Ibn 'Arabi).
Saat menjelaskan tentang relasi Tuhan dan alam semesta, Sunan Kudus mengutarakan bahwa semua makhluk, baik manusia maupun alam secara luas diliputi oleh rahmat Allah. Artinya, rahmat-Nya melingkupi segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Tak hanya itu, Sunan Kudus juga mengudar prinsip suluk (perjalanan menuju Tuhan), yakni dengan mengharmonisasikan antara syariat, tarekat, dan hakikat secara baik.
Berdasar temuan-temuan tersebut, bisa dikatakan bahwa narasi lain yang harus diketengahkan mengenai Sunan Kudus ialah bukan hanya ahli fikih semata, tetapi juga sisi lain beliau yang merupakan ahli tasawuf, bahkan termuat dalam banyak ajaran-ajaran tarekat yang tersebar di Jawa pada saat itu.