Pada pertengahan bulan Agustus, masih dalam suasana peringatan kemerdekaan Indonesia, Suluh Nusantara Raja-Wali 2023 sebagai agenda rutin Panca Olah Institute dilanjutkan dengan fokus pembahasan mengenai Sunan Kalijaga, sosok wali songo yang bisa disebut paling banyak diidolakan dan dijadikan teladan oleh masyarakat Nusantara pada umumnya, dan oleh rakyat keturunan Jawa pada umumnya.
Tema utama yang diangkat pada momen kali ini ialah Sunan Kalijaga: Dari Ngeksintara ke Ngeksiganda. Adapun pembicara utama yang menemani diskusi Suluh Nusantara tersebut adalah Muhammad Yaser Arafat, M.A., Dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga Peneliti dan Praktisi Kebudayaan.
Sebelum memasuki sesi pembahasan, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.
Indra Hanjaya, Founder Panca Olah Institute, dalam sambutannya menyatakan bahwa tujuan dari diselenggarakannya program Suluh Nusantara Raja-Wali 2023 adalah untuk meneladani ajaran dari para sunan yang hari ini dikenal dengan Wali Songo.
Selain itu, pria yang akrab disapa Coach Jaya itu menekankan pentingnya mempersiapkan narasi Indonesia Emas 2045 dengan gerakan kembali ke akar, di mana salah satunya penghayatan dan penggalian akan pemikiran para tokoh-tokoh Nusantara merupakan sebuah langkah penting untuk menyambut cita-cita besar tersebut.
Mengawali paparannya, Yaser mengajak para peserta yang hadir untuk merefleksikan memori personal dan kolektif akan sosok Sunan Kalijaga. Menurutnya, pengenalan masyarakat luas mengenai Sunan Kalijaga selama ini terbentuk melalui imaji dan visualisasi yang ada dalam film legenda berjudul "Sunan Kalijaga" yang diperankan oleh Deddy Mizwar dan beberapa aktor serta aktris terkenal pada tahun 80-an.
Sebagai sebuah upaya menghidupkan sejarah, tentu ini sebuah langkah yang perlu diapresiasi. Sayangnya, gaya penceritaan dan penyajian visual yang tampak dalam film tersebut justru terasa dangkal dan mereduksi nilai-nilai dan ajaran yang dibawa oleh Sunan Kalijaga sesungguhnya.
Seiring berjalannya waktu, persentuhan khalayak umum tentang Sunan Kalijaga kemudian mendapatkan penyegaran saat Emha Ainun Nadjib atau lebih sering dikenal dengan Cak Nun bersama kelompok musik Kiai Kanjeng mempopulerkan tembang Lir-Ilir dengan nada yang cukup khas. Di sinilah kemudian terjadi penghayatan lebih mendalam dari tokoh Sunan Kalijaga dibanding sebelumnya.
Momentum ini kemudian mendorong banyak orang untuk menggali lebih jauh pemikiran dan ajaran dari Sunan Kalijaga secara lebih serius hingga lahir buku-buku, jurnal-jurnal, bermacam-macam esai, hingga artikel mengenai Sunan Kalijaga yang ditulis oleh akademisi, budayawan, peneliti, praktisi, hingga orang biasa yang mengaguminya.
Dalam uraiannya, Yaser mengemukakan bahwa penelitian tentang Sunan Kalijaga bisa dimulai dengan membuka arsip serta ruang mansuskrip-manuskrip dari Jawa Tengahan (Pantura), Cirebon, serta Pasai dan Aceh. Ketiga wilayah inilah yang menyimpan banyak data mengenai riwayat dan perjalanan hidup Sunan Kalijaga.
Salah satu hal yang menarik dari Sunan Kalijaga ialah kepemilikan nama yang cukup beragam. Misalnya Syaikh Malaya yang menyimpan dua arti. Pertama, ia bisa diartikan dengan orang yang belajar ke Tanah Melayu. Sedangkan, dalam makna yang lebih dalam nama ini merupakan manifestasi dari orang-orang yang telah mengajarkan ilmu kematian.
Sementara itu, di tanah Jawa Sunan Kalijaga memiliki nama Ki Dalang Kandabuwana. Makna dari nama orang yang mengabarkan ilmu-ilmu, sesuatu, dan apa saja kepada orang lain. Secara sosiologis, hal ini cukup beralasan karena pada masa hidup Sunan Kalijaga tanah Jawa menjadi salah satu pusat keilmuan dunia yang didatangi oleh banyak sekali manusia dari beragai belahan dunia.
Gelar lain yang juga diemban oleh Sunan Kalijaga ialah Jayaprana. Makna dari gelar ini yakni orang yang telah menguasai ilmu keluar masuknya nafas manusia melalui berbagai macam tingkatan zikir dan metode pelaksanaannya. Selain beberapa contoh di atas, nama-nama lain Sunan Kalijaga di antaranya Lokajaya, Pangeran Tuban, Raden Adurrahman, dan lain-lain.
"Beragam jenis nama yang dimiliki oleh para wali itu menunjukkan bahwa ia telah menamatkan bermacam-macam ilmu, sehingga sebuah nama itu bukan sebuah hal tanpa arti, apalagi disebut sebagai gaya-gayaan atau malah hal yang remeh temeh," ungkap penulis buku "Nisan Hanyakrakusuman" dengan tegas.
Penelusuran data-data ihwal Sunan Kalijaga juga membawa Yaser sampai pada kesimpulan bahwa ia merupakan dwitunggal bersama Syaikh Siti Jenar dalam banyak cerita sejarah penting mengenai Wali Songo yang ditulis oleh para sejarawan lokal maupun internasional.
Lebih jauh, dari riset yang dilakukannya, Yaser juga menemukan fakta penting seorang Sunan Kalijaga yang ternyata merupakan penyambung peradaban Islam dari wilayah utara ke selatan tanah Jawa (ngeksintara ke ngeksiganda). Saat ajaran Islam ramai disebarkan di wilayah utara Jawa, maka di situlah Sunan Kalijaga memiliih peran untuk mentransmisikan ajaran Islam hingga wilayah selatan Jawa.
Tak heran kemudian jika ia dijuluki sebagai sosok penting di balik rekayasa peradaban dari Kerajaan Demak, lalu Kerajaan Pajang, hingga Kerajaan Mataraman. Selain itu, figur Sunan Kalijaga juga disebut dalam beberapa literatur sejarah sebagai wali penutup di wilayah Jawa dan sekitarnya.
Aspek penting yang juga ditekankan oleh Yaser ialah pentingnya memahami sejarah para wali menggunakan epistemologi keilmuan pada masa hidup mereka, bukan dengan pisau analisis keilmuan hari ini yang memiliki rentang waktu begitu jauh dan belum tentu selaras dengan apa yang terjadi saat para wali tersebut hidup.
"Paradigma keilmuan yang ada pada masa hidup Sunan Kalijaga ialah Islam sufistik. Namun istilah ini jangan dipahami sebagaimana sekarang oleh para mahasiswa dan akademisi yang membuat kategorisasi macam Islam substantif, Islam normatif, Islam sufistik, dan sebagainya. Karena apa yang ada pada masa hidup Sunan Kalijaga itu ya hanya Islam sufistik itu, tidak ada pengelompokan dan identifikasi yang beragam itu seperti hari ini," ujar Yaser.
Oleh karenanya, dalam mempelajari dan memahami pemikiran dan teladan wali songo maupun para wali lainnya, sudah seharusnya kita menggunakan pendekatan yang analitis, kritis, namun tidak mengaburkan fakta historis, sosiologis, arkeologis, dan geografis di mana mereka hidup pada masanya.