Belajar dari Sunan Gunung Jati: Menghayati Ilmu Rasa dan Kesadaran hingga Menerapkan Politik yang Berkepribadian

SELASA, 19 MARET, 2024

Belajar dari Sunan Gunung Jati: Menghayati Ilmu Rasa dan Kesadaran hingga Menerapkan Politik yang Berkepribadian

Pada tanggal 17 Maret lalu, Suluh Nusantara Raja-Wali yang mengulas pemikiran dan teladan wali songo kembali hadir dengan fokus pembahasan mengenai Sunan Gunung Jati, sosok wali songo yang terkenal akan kiprah politiknya yang cemerlang, di samping dakwahnya di sektor pendidikan, sosial, dan kebudayaan.

Tema utama yang diangkat pada momen kali ini ialah Sunan Gunung Jati dan Filosofi Hidup Toleran, Gotong Royong, Berdaulat, Mandiri, serta Berbudaya. Narasumber utama yang menemani agenda Suluh Nusantara tersebut adalah Ahmad Baso, seorang Penulis, Pengkaji Sejarah Wali Songo, dan Peneliti Manuskrip Nusantara.

Suluh Nusantara Raja-Wali Sunan Gunung Jati Pamflet

Sebelum memasuki sesi inti pembahasan, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.

Indra Hanjaya selaku Founder Panca Olah Institute serta Inisiator program Suluh Nusantara dalam sambutannya menyampaikan rasa syukurnya atas terlaksananya rangkaian program Suluh Nusanatara dengan tema Raja-Wali dari edisi pertama yang membahas tentang Syaikh Nur Jati hingga edisi kesepuluh sebagai penutup yang mengulas Sunan Gunung Jati.

Suluh Nusantara Raja-Wali Sunan Gunung Jati

Ia juga menyampaikan bahwa kegiatan ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk menyalakan (suluh) api peradaban yang telah dibawa oleh para generasi terdahulu, tak terkecuali wali songo. Menurutnya, satu pesan dari gurunya yang saat ini perlu dikawal bersama ialah kebangkitan trah wali songo untuk menyongsong masa depan bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Mengawali paparannya, Ahmad Baso mengutarakan bahwa selama ini peninggalan dari Sunan Gunung Jati yang dikenal adalah masjid, kraton, dan pitutur yang populer. Padahal, menurutnya ada lebih banyak dari itu yang sebenarnya diwariskan oleh Sunan Gunung Jati, khususnya terkait aspek literasi.

Sebagai contoh, ia menyampaikan penting untuk membuka sumber sejarah primer dalam memahami sejarah sebenarnya dari sosok Kanjeng Sunan Gunung Jati. Naskah Sejarah Panjunan misalnya menjadi contoh sumber sejarah primer yang mengungkap kosmologi, pemikiran, dan kaderisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati mulai saat ia masih menjadi santri di Pasai hingga beliau dewasa.

Suluh Nusantara Raja-Wali Sunan Gunung Jati

Dokumen ini secara otentik merekam perjalanan 50 tahun Sunan Gunung Jati hingga saat Raja Panjunan wafat terlebih dahulu. Versi dari naskah ini pun ada lima macam, dari yang ditemukan oleh Ahmad Baso di Belanda, Paris, hingga koleksi dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

"Penting bagi kita untuk menengok korpus sejarah yang tepat, sehingga kita bisa memahami Sunan Gunung Jati sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya mitos atau kisah-kisah irasional yang pada hari ini lebih sering diceritakan dari mulut ke mulut. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi distorsi sejarah," ungkap Ahmad Baso.

Diskursus penting yang dibangun oleh para wali terdahulu, termasuk Sunan Gunung Jati, ialah membangun kesadaran serta kebanggaan sebagai warga Nusantara tersebut. Meskipun mereka lahir di belahan bumi Arab dan Timur Tengah, namun ketika mereka ditanya atau memperkenalkan diri dalam kitab-kitab yang ditulisnya, para wali songo lebih suka menyatakan diri berasal dari tanah Jawi (sebutan untuk Nusantara pada masa tersebut).

Suluh Nusantara Raja-Wali Sunan Gunung Jati

Bagi Ahmad Baso, hal ini tentu sangat menakjubkan. Jika seorang politisi atau raja yang berbicara tentang wawasan kebangsaan, itu sudah biasa. Namun, jika yang membicarakan hal ini para wali, tentu saja itu merupakan hal yang luar biasa. Terlebih hal ini disyiarkan secara luas kepada masyarakat.

Akan tetapi, itu semua tidak hadir begitu saja. Ia lahir dari pergumulan intens akan khazanah keilmuan agama yang tidak hanya berbicara tentang dimensi lahir, melainkan juga lebih jauh menyentuh dimensi batin yang kelak disebut dengan ilmu rasa.

Pengolahan rasa inilah yang membawa kesadaran dalam diri Sunan Gunung Jati untuk mengajak setiap orang menginternalisasinya ke dalam bentuk kecintaan terhadap bangsa negara. Selain itu, dengan penghayatan ilmu rasa ini juga ia mendorong setiap orang agar beragama yang membuat orang merasa nyaman, tenteram, dan selamat, tanpa caci maki.

Suluh Nusantara Raja-Wali Sunan Gunung Jati

Warisan lain Sunan Gunung Jati yang penting diketengahkan ialah posisinya sebagai figur yang mencetuskan pertama kali dari narasi Indonesia Raya. Menurut Ahmad Baso, sejak dulu Sunan Gunung Jati sudah mengimbau agar setiap manusia bisa sadar untuk membangunkan jiwa dan badannya.

Lebih lanjut, pemikiran Sunan Gunung Jati yang juga penting dan bahkan bisa dibilang canggih pada zamannya ialah konsep politik yang berkepribadian dalam bidang tata negara. Dalam bangunan pemikirannya, terdapat empat pilar (saka papat) dalam bernegara yang harus dipenuhi, yakni adanya wali, ratu, qadhi, dan, mokmin.

Suluh Nusantara Raja-Wali Sunan Gunung Jati

Jika diterjemahkan ke dalam peta politik hari ini, maka keempat komponen yang dicetuskan oleh Sunan Gunung Jati sebenarnya merupakan representasi dari eksekutif, yudikatif, legislatif, dan bahkan sudah menyinggung soal masyarakat sipil (civil society). Tujuan dari bernegara ialah untuk menciptakan sistem yang adil, terlepas apakah instrumen untuk mewujudkan keadilan tersebut berasal dari khazanah kepustakaan Islam atau tidak.


Leave a Reply