Pada tanggal 18 Desember lalu, Suluh Nusantara Raja-Wali 2023 kembali hadir dengan fokus pembahasan mengenai Sunan Gresik, figur wali songo tertua di pulau Jawa yang terkenal dengan warisan dan ajarannya mengenai pertanian, lingkungan, serta pengembangan kebudayaan masyarakat setempat melalui kerajinan kuningan, batik, dan sejenisnya.
Tema utama yang diangkat pada momen kali ini ialah "Sunan Gresik dalam Pusaran Mitos, Fakta, dan Realita Sejarah." Narasumber kunci yang membersamai agenda Suluh Nusantara tersebut adalah Kriswanto Adji Wahono Abdul Wafiq atau lebih akrab dikenal dengan Kris Adji Aw, Budayawan asal Gresik, Penggiat Sejarah, serta Penulis Buku berjudul Sunan Gresik: Kiprah Raden Santri sang Raja Pandita Wunut di Nusantara.
Sebelum memasuki sesi inti pembahasan, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.
Ahmad Bagus Kazhimi, Direktur Panca Olah Institute, dalam sambutannya menyatakan bahwa tujuan dari diselenggarakannya program Suluh Nusantara Raja-Wali 2023 adalah untuk menanggulangi amnesia sejarah yang telah mengakar cukup lama di benak masyarakat Indonesia hari ini.
Tak lupa, ia juga menegaskan urgensi Suluh Nusantara sebagai ikhtiar yang dilakukan dalam menguak fakta sejarah sebenarnya dari para tokoh walisongo, termasuk Sunan Gresik yang dibahas pada pertemuan malam itu, sehingga generasi muda masa depan bangsa Indonesia mengetahui hakikat sejarah bangsanya sendiri.
Mengawali paparannya, Kris Adji menyatakan pentingnya memahami budaya dan sejarah lokal, karena apa yang disebut sebagai sejarah nasional tidak akan ada tanpa penelsuran akan sejarah lokal di tiap-tiap wilayah. Dengan bahasa lain, sejarah nasional bisa disebut sebagai kumpulan dari serpihan-serpihan sejarah lokal yang dipahami secara baik.
"Ada kerancuan dalam penyamaan tokoh Maulana Malik Ibrahim dengan Sunan Gresik. Nanti kita akan mengupas satu per satu, lembar demi lembar bagaimana sebenarnya sejarah dan kisah Sunan Gresik maupun Maulana Malik Ibrahim. Sejak kapan awal penyebutan Maulana Malik Ibrahim diasosiasikan dengan Sunan Gresik, dan seperti apa warisan ajaran kedua tokoh tersebut," ujar Pendiri Sanggar Lentera Gresik sejak tahun 1980 tersebut.
Buku-buku terbitan lama tahun 90-an, lanjut Kris, tidak ada yang menyebut Sunan Gresik sebagai Maulana Malik Ibrahim. Hal ini berarti ada distorsi sejarah yang perlu diurai. Pertama, harus dipahami bahwa ada hubungan antara Kerajaan Champa dengan masyarakat Jawa. Secara spesifik bahkan Raja Majapahit yang bergelar Brawijaya V menikah dengan putri Champa bernama Darawati yang beragama Islam.
Pertalian antara Kerajaan Majapahit dan Singasari dengan Kerajaan Champa melalui jalur pernikahan itulah yang kelak memberi andil bagi lahirnya generasi para wali di Nusantara, khsususnya wali songo. Kakek moyang dari wali songo, menurut Kris, adalah Syaikh Jumadil Kubra. Dari garis keturunan ini lahir tiga sosok yang akan berpengaruh dalam penyebaran Islam di Nusantara, yakni Ali Nurul Alam, Barokat Zainal Alam, dan Ibrahim as-Samarqandi.
Dari Barokat Zainal Alam, lahirlah tokoh yang bernama Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan, dari Ibrahim as-Samarqandi, setidaknya ada tiga keturunan, yakni Sayyid Ali Murtadlo, Sayyid Ali Rahmatullah, dan Sayyid Maulana Ishaq. Dari jalur inilah kelak generasi wali songo lahir dan dibesarkan.
Penyamaan Maulana Malik Ibrahim dengan Sunan Gresik, sejauh pengamatan Kris, tidak lepas dari era media sosial dan teknologi informasi. Sosok yang sejatinya merupakan Sunan Gresik ialah Sayyid Ali Murtadlo yang memang secara geografis dulu dia tinggal di pusat Kota Gresik. Adapun Syaikh Maulana Malik Ibrahim diberi tanah perdikan oleh Raja Majapahit sebuah wilayah yang bernama Gapura Sukolilo.
Sayyid Ali Murtadlo kelak mendapat gelar Raja Pandita dari Majapahit. Berdasarkan beberapa referensi, Raja Pandita di Gresik memiliki keahlian dalam merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda. Bahkan, pada masanya, ia banyak meninggalkan pusat pembuatan batik di Kota Gresik.
Sementara itu, Maulana Malik Ibrahim yang selama ini diasosiasikan dengan Sunan Gresik memiliki jalur dan metode dakwah yang berbeda dengan Sayyid Ali Murtadlo. Oleh karena itu, distorsi sejarah mengenai Sunan Gresik hendaknya kita sadari dan kemudian menjadi pelajaran agar kita bersedia untuk menggali kembali bagaimana sebenarnya sejarah dari tokoh-tokoh wali songo di Nusantara, siapa pun itu figurnya.