Di awal bulan Januari lalu, Suluh Nusantara Raja-Wali yang mengulas pemikiran dan teladan wali songo kembali hadir dengan fokus pembahasan mengenai Sunan Giri, sosok wali songo yang lekat dengan tinggalannya di banyak sektor, mulai dari pendidikan, kebudayaan, politik, hingga jaringan ordo tarekat yang menjadi pilar penyebaran Islam di Nusantara.
Tema utama yang diangkat pada momen kali ini ialah Mengolah Integrasi Pendidikan, Kebudayaan, dan Politik ala Sunan Giri sebagai Pilar Peradaban dan Kesadaran Bangsa Nusantara. Narasumber utama yang menemani rangkaian agenda Suluh Nusantara tersebut adalah Nur Khalik Ridwan, seorang penulis dan cendekiawan Muslim yang banyak menulis soal tema-tema keislaman dari beragam aspek, mulai dari sejarah, teologi, hingga tasawuf.
Sebelum memasuki sesi inti pembahasan, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.
Ahmad Bagus Kazhimi, salah satu inisiator program Suluh Nusantara, menyatakan dalam sambutannya bahwa penting untuk menggali khazanah keilmuan dari berbagai aspeknya yang telah diwariskan oleh para wali songo, tak terkecuali Sunan Giri.
Selain itu, sebagaimana nama besar dari program di atas, yakni Suluh, maka ia berharap agenda ini bisa menjadi penerang atas kabut-kabut maupun awan-awan gelap pengetahuan yang masih mendominasi di relung kehidupan masyarakat luas, mulai dari buku yang dibaca, tontonan yang dilihat, dan lain sebagainya.
Mengawali paparannya, Nur Khalik Ridwan mengutarakan bahwa sumber-sumber yang berhubungan dengan Islam di akhir masa Majapahit masih bisa dilacak dan dicari, seperti tulisan mengenai Sunan Bonang dan Sunan Giri. Di sisi lain, sumber-sumber mengenai masa sebelum itu (misalnya Maulana Malik Ibrahim dan Fatimah binti Maimun), maka sumber yang ada hanyalah sejenis prasasti, sedangkan karyanya masih tidak bisa ditemukan.
"Artinya, sejarah mengenai pemikiran atau teladan dari para tokoh wali songo tersebut bisa dibaca, umumnya dalam bentuk babad-babad maupun serat-serat. Bahkan karya pribadi tiap figur wali songo tersebut masih bisa ditemukan dan dibaca secara langsung," ujar Penulis Buku Islam di Jawa Abad XIII-XVI tersebut.
Dari linimasa kehidupannya, Sunan Giri hidup semasa dengan Sunan Ampel ketika ia sudah menjadi susuhunan/penguasa di wilayah Ampel Denta. Sunan Ampel ketika di Surabaya itu 1400-an, selaras dengan masa kekuasaan Raja Dyahkartawijaya, bukan saat Hayam Wuruk menjadi penguasa Kerajaan Majapahit.
Ada banyak cerita mengenai asal muasal kelahiran Sunan Giri. Riwayat populer yang muncul ialah bahwa ada seorang Maulana yang ditugaskan untuk datang ke daerah Blambangan untuk menyembuhkan seorang putri Raja. Nama putri itu kadang disebut Putri Sabodhi atau Nyai Buyut Atikah. Setelah berhasil menyembuhkan penyakit putrinya, sang Raja kemudian menikahkan anaknya dengan Maulana tersebut.
Penyebutan nama dari Maulana tersebut pun bermacam-macam. Ada yang mengatakan Maulana Usalan, Syaikh Ya’qub, hingga Maulana Ishaq. Di samping itu, Babad Gedongan menyebut Sunan Giri lahir dari orang Arab dengan Dewi Rasa Wulan, sedangkan Dewi Rasa Wulan itu adik Sunan Ampel, yang mana hal itu tidak mungkin.
Oleh karena itu, versi sejarah yang lebih valid adalah bahwa Raden Paku atua Sunan Giri merupakan putra dari pernikahan Menak Sembuyu/Dewi Sekardadu dan Maulana Ishaq. Cerita lokal di Giri pun menyebut bahwa Raden Paku lahir dari keturunan Blambangan.
Sunan Giri semasa kecil diasuh oleh Ni Gede Pinatih (w. 1477 M), semasa dengan Raja Kertabumi, karena Sunan Giri ini dibuang di laut. Menurut Nur Khalik Ridwan, makna dari pembuangan itu sebenarnya adalah dia dibawa oleh orang dekat ibunya melalui jalan laut, karena pada masa itu jalur laut lebih dekat daripada jalur darat. Alasan utama kenapa Sunan Giri dititipkan oleh Ni Gede Pinatih ialah karena ia masih keluarga Kerajaan Blambangan.
Setelah dibesarkan oleh Ni Gede Pinatih, Sunan Giri kemudian dibawa ke Ampel untuk diasuh oleh Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel. Pada saat inilah ia mengenal Islam lebih dalam dengan mengaji Al-Qur’an dan berbagai kitab keislaman. Pasca kelulusannya dari sana, Sunan Giri kemudian melakukan tirakat selama 41 hari dalam disiplin Tarekat Naqsyabandiyah.
Ketika Sunan Giri berhasil menyelesaikan tirakat-tirakat yang ditugaskan, ia kemudian dinikahkan dengan Siti Murtasiah (putri tertua dari Sunan Ampel), lalu mereka berdua kembali ke Gresik dan membangun pesantren sendiri di wilayah tersebut. Pada tahun 1480, Sunan Giri berdiam di Gunung Pertukangan.
Ada yang disebut juga dengan Gunung Wurung. Alkisah nama ini diambil dari proses tirakat Sunan Giri yang rencananya 40 hari, namun tidak sampai 40 hari ia mendapat kabar ibunya meninggal (yakni Ni Gede Pinatih) sehingga ia harus turun dari gunung sebelum proses tirakatnya selesai.
Setelah Ni Gede Pinatih wafat, otomatis Sunan Giri menggantikan posisi pentingnya sebagai syahbandar Kota Gresik. Tak lama berselang, ia juga menjadi penguasa di wilayah Gresik. Pada tahun 1485, Sunan Giri kemudian membangun Kraton Giri.
Pada masa menjadi seorang raja inilah ia dikaui sebagai raja yang diakui secara spiritual. Ia bahkan dipercaya oleh para wali sebagai imam dalam prosesi shalat saat jenazah Sunan Ampel dikebumikan.
Salah satu keunikan dari Sunan Giri adalah bahwa ia merupakan penguasa rohani yang sadar akan pentingnya penyebaran Islam melalui jaringan tarekat-tarekat yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Oleh karena itu, tak heran jika muridnya pada kemudian hari menjadi dai di berbagai daerah, seperti Bima, Sulawesi, dan lain sebagainya.
Adapun, warisan berupa karya dari Sunan Giri sendiri bisa ditemukan di Museum Sunan Giri, salah satunya Al-Quran yang ada ilustrasi atau gambar-gambar tertentu, seperti hati, menara, dan gunung. Ilustrasi tersebut merupakan metafor mengenai bagaimana setiap manusia bisa mengolah hatinya, meninggikan kualitas hidupnya, serta menaklukkan hawa nafsunya.