Belajar dari Sunan Ampel: Pelopor Ajaran Islam Berbudaya Nusantara hingga Merintis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pesantren

SABTU, 30 SEPTEMBER, 2023

Belajar dari Sunan Ampel: Pelopor Ajaran Islam Berbudaya Nusantara hingga Merintis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pesantren

Di penghujung bulan September, bertepatan dengan momen Maulid Nabi Muhammad saw, Suluh Nusantara Raja-Wali 2023 kembali hadir dengan fokus pembahasan mengenai Sunan Kalijaga, salah satu figur tertua wali songo yang juga dikenal sebagai inisiator konsep pendidikan berupa pesantren di Nusantara.

Pamflet Suluh Nusantara Sunan Ampel

Tema utama yang diangkat pada momen kali ini ialah Sunan Ampel: Inisiator Pendidikan Berperadaban Islam Nusantara. Pembicara utama yang menemani diskusi agenda Suluh Nusantara tersebut adalah Dr. KH. Aguk Irawan, seorang Sastrawan, Penulis, serta Pemerhati Sejarah Nusantara.

Sebelum memasuki sesi inti pembahasan, peserta diajak untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya versi 3 Stanza gubahan Wage Rudolf Supratman secara bersama-sama sebagai upaya untuk membangkitkan semangat dan jiwa nasionalisme segenap orang yang hadir. Ritual ini terasa penting, karena alunan musik sendiri berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan sistem kepercayaan dalam diri seseorang.

Indra Hanjaya, Founder Panca Olah Institute, dalam sambutannya menyatakan bahwa tujuan dari diselenggarakannya program Suluh Nusantara Raja-Wali 2023 adalah untuk menyalakan api kesadaran serta peradaban Nusantara yang kian hari semakin memudar.

Selain itu, pria yang akrab disapa Coach Jaya itu mengemukakan perlunya keterbukaan akan ajaran-ajaran luhur dari para tokoh-tokoh Nusantara agar bisa muncul ke permukaan dan menjadi inspirasi untuk terwujudnya peradaban yang lebih baik, salah satunya dengan jalan revolusi spiritual dalam diri setiap manusia Indonesia.

Indra Hanjaya - Founder Panca Olah Institute

Sebagai pembuka diskusi, Aguk Irawan menyatakan bahwa penyebutan Sunan Ampel sebagai inisiator konsep pendidikan pesantren di Nusantara adalah sebuah hal yang sangat tepat. Lebih jauh dari itu, ia bahkan berani mengklaim bahwa Sunan Ampel adalah inspirasi dari konsep pendidikan berupa pesantren, asrama, dan sejenisnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Yaman, Arab Saudi, atau negara-negara di Timur Tengah lainnya.

Hal ini diperkuat oleh temuan Patrick Oliviera, salah satu pendiri Harvard University, yang menyatakan dalam bukunya bahwa akar dari sistem pendidikan asrama di dunia berasal dari dua tempat, yakni Nalanda (sekarang bernama India) dan Nusantara (Indonesia saat ini).

Tak hanya itu, menurut Aguk, Sunan Ampel merupakan salah seorang pelopor dari gerakan akulturasi antara nilai-nilai keislaman dan kerifan lokal masyarakat setempat. Dalam bahasa lain, ia juga disebut sebagai pelopor ajaran-ajaran Islam berbudaya Nusantara.

Sebagai contoh misalnya, saat Sunan Ampel mengganti istilah sanggar menjadi langgar sebagai tempat peribadatan masyarakat. Lalu ia juga memberikan makna baru dari istilah sembahyang, puasa, tumpeng, serta bahasa-bahasa masyarakat yang hidup di wilayah Ampel Denta saat itu.

Dikisahkan dalam banyak babad dan manuskrip sejarah bahwasanya Sunan Ampel amat mencintari tradisi lokal, baik dalam hal busana atau ritual yang kemudian ia warnai dengan sentuhan keislaman.

Dalam berpakaian misalnya, Aguk mempertanyakan citra Sunan Ampel yang selama ini digambarkan dengan sosok yang menggunakan surban dan imamah. Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa ia lebih suka mengenakan baju surjan dan blangkon dalam kesehariannya.

Suluh Nusantara Sunan Ampel: Inisiator Pendidikan Berperadaban Islam Nusantara

Sementara itu, cara mengedukasi masyarakat yang dilakukan Sunan Ampel pun tergolong lembut dan tidak memaksa. Alkisah pada masa hidupnya terdapat paham Bhairawa Tantra yang mengajarkan untuk pesta, seks bebas, makan dan minum yang terlarang, dan hal-hal sejenisnya.

Merespons hal ini, yang dilakukan Sunan Ampel bukanlah melarang atau mengumpat ajaran tersebut, melainkan dengan kreativitasnya membuat antitesis dari ajaran tersebut dengan nama moh limo yang kita kenal sampai hari ini. Secara berurutan, moh limo terdiri dari tidak mabuk (moh madhat), tidak bermain wanita (moh madon), tidak bermain judi (moh main), tidak meminum minuman keras (moh minum), dan tidak mencuri (moh maling).

Selanjutnya, dalam rumusan pesantren yang ia gagas, Sunan Ampel mengedepankan pemberdayaan ekonomi dan transformasi masyarakat sebelum mereka belajar dan mengaji kitab kuning. Saat memasuki pesantren, para santri yang belajar pertama-pertama diajari untuk bercocok tanam, berdagang, dan serangkaian aktivitas ekonomi lainnya yang mendorong terwujudnya kemandirian finansial.

"Dulu yang diajarkan oleh Sunan Ampel kepada santrinya saat mereka masuk pesantren itu ya bagaimana menanam cengkeh, menanam palawija, berdagang, serta berjuang untuk kemakmuran masyarakat secara ekonomi," ujar Aguk Irawan dengan tegas.

Atas dasar inilah kemudian banyak masyarakat yang hidup di wilayah Surabaya, Gresik, dan sekitarnya memeluk agama Islam karena mereka diberdayakan secara ekonomi dengan baik. Raja yang berkuasa saat itu pun tidak melarang rakyatnya untuk beragama Islam, karena ia melihat perubahan kehidupan yang lebih baik setelah mereka memeluk Islam sebagai agama.

Dr. KH. Aguk Irawan

Lebih lanjut, proses pengajaran yang ditekankan mula-mula kepada santri di Pesantren Ampel Denta ialah mengenai adab dan tata krama. Referensi yang digunakan pun bukan hanya kitab kuning berbahasa Arab, tetapi juga serat dan manuskrip yang diwariskan oleh Mpu Prapanca, salah seorang pujangga ternama di masa Majapahit.

Berdasarkan ajaran serat tersebut yang disadur oleh Sunan Ampel dalam kitab Silakrama, tahapan yang perlu dilakukan seorang santri saat belajar di pesantren adalah dengan mulai mengabdi (berkhidmah) kepada gurunya, lalu saling mengasihi antar sesama santri, dan terakhir mendatangi ilmu dengan ikut belajar dan mengaji di pesantren melalui sistem sorogan, bandongan, dan lain sebagainya.


Leave a Reply